Mungkin banyak yang bertanya-tanya, siapa sesungguhnya perguruan tinggi besar? Apa kriteria yang digunakan untuk menentukan sebuah perguruan tinggi itu perguruan tinggi besar?
Secara kuantitatif, perguruan tinggi besar dapat didefinisikan melalui besaran akses pendidikan yang disediakannya. Penggolongan dapat dilakukan melalui jumlah mahasiswa (student body), misalnya perguruan tinggi besar adalah perguruan tinggi dengan total mahasiswa lebih dari 20.000 orang, atau lebih dari 10.000 orang dan seterusnya, atau melalui jumlah lulusannya (produktivitas). Di Jawa Timur ada perguruan tinggi pada program studi S2 tiap tahun menerima 50 mahasiswa baru, tapi anehnya berdasarkan buku wisuda, jumlah lulusan tiap tahun melebihi 500 orang. Produktivitasnya 1.000% dari nilai ideal.
Secara kualitatif, perguruan tinggi besar dapat dinilai dari seberapa tinggi derajad mutu Standar Pendidikan Tinggi (SDIKTI –selanjutnya disebut S) perguruan tinggi itu dibandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNDIKTI selanjutnya disebut SN). Berdasarkan Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang SNDIKTI, tidak boleh ada perguruan tinggi memiliki S di bawah SN karena SN adalah standar minimal. Inilah hakikat makna penjaminan mutu pendidikan tinggi secara nasional yang diamanahkan oleh undang-undang.
Sesuai dengan undang-undang, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) merupakan lembaga yang ditugasi untuk melakukan penilaian S perguruan tinggi. Logikanya, jika perguruan tinggi memiliki S sama dengan SN, maka peringkat akreditasinya baik (C). Peringkat berikutnya sangat baik (B), dan perguruan tinggi besar semestinya memiliki S yang jauh lebih baik dari SN dengan peringkat akreditasi unggul (A). Inilah sejatinya yang dimaksud dengan penjaminan mutu eksternal.
Uraian di atas menegaskan bahwa undang-undang menjamin penuh otonomi perguruan tinggi di bidang akademik. Tidak ada pengekangan atau pemberangusan terhadap otonomi perguruan tinggi oleh pemerintah. Perguruan tinggi boleh dan bahkan memiliki kebebasan yang luas mengembangkan S masing-masing setinggi-tingginya sesuai dengan visi dan misi masing-masing pula.
Isu-isu yang terkait dengan pengekangan dan pemberangusan otonomi akademik perguruan tinggi sesungguhnya muncul dari kelompok atau oknum yang ingin menurunkan derajad SN yang sudah sangat rendah itu. Biasanya kelompok ini kurang menyenangi mutu yang dianggapnya “mempersulit”, tetapi mereka lebih menyukai kegiatan wisuda sebagai hak asasi perguruan tinggi. Ya, kelompok ini sangat rajin menggelar wisuda.
Sebagai bagian dari upaya untuk mendorong pelaksanaan penjaminan mutu internal, Direktorat Jenderal Kelembagaan Kemenristekdikti juga melakukan pemeringkatan. Meski data dasarnya diambil dari data perguruan tinggi yang bisa diakses secara online yaitu melalui Pangkalan Data Dikti (PD Dikti), laman universitas, dan laman lain, hasilnya sudah bisa memberikan gambaran makro yang sangat efektif untuk melakukan pembinaan dan pendampingan. Pemeringkatan ini mengelompokkan perguruan tinggi ke dalam lima klaster. Klaster 1 diisi oleh perguruan tinggi yang akan didorong menjadi world class university (WCU), sedangkan klaster 5 diisi oleh beragam perguruan tinggi mulai dari yang S-nya pas-pasan, kelas ruko, hingga abal-abal.
Secara cermat Ditjen Kelembagaan memilah perguruan tinggi berdasarkan klaster dan mengerahkan seluruh sumber daya untuk melakukan pembinaan perguruan tinggi di tiap-tiap klaster. Prof. Hermawan Kresno Dipyono (ITB) dkk sangat beruntung karena ditugasi memimpin tim untuk membina perguruan tinggi klaster 1. Saya sebut beruntung, karena berkesempatan berinteraksi dengan perguruan tinggi top di Tanah Air. Meski targetnya berat, saya mengamati sudah ada capaian yang menggembirakan, misalnya dengan peningkatan peringkat WCU sejumlah perguruan tinggi dan terpenuhinya target perguruan tinggi terakreditasi A pada tahun 2016.
Tim EKA
Saya juga bersyukur, karena “beruntung” ditugasi memimpin Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) yang umumnya berinteraksi dengan perguruan tinggi klaster 5 bagian bawah. Meski terkadang juga ditugasi mengunjungi perguruan tinggi klaster di atasnya hingga klaster 1, itu terjadi secara insidental manakala ada laporan masuk yang terkait dengan pelanggaran berat. Mudah diterka risiko yang dihadapi tim ini, mengingat populasi wilayah tugas bersinggungan dengan berbagai macam pelanggaran.
Cikal bakal Tim EKA berasal dari Tim Audit Akademik yang dibentuk pada tahun 2015 oleh Menteri untuk memberantas peredaran ijazah palsu. Pada pertengahan Juni 2015 satu sindikat peredaran ijazah palsu di Jakarta dengan nama universitas seolah internasional telah ditangkap dan satu perguruan tinggi penjual ijazah abal-abal di Bekasi resmi dicabut izinnya. Menjelang akhir September 2015, sebuah wisuda abal-abal melibatkan 1300 orang di kawasan Pondok Cabe “digerebeg” oleh Tim berkat kerjasama yang baik dengan berbagai elemen media. Buntutnya, ijin penyelenggaraan perguruan tinggi oleh yayasan penyelenggara wisuda telah dicabut oleh Menteri pada awal tahun 2016.
Penyimpangan akademik yang melahirkan ijazah abal-abal merupakan penyakit masyarakat. Mantan Ketua BAN PT Prof. Mansyur Ramly menyebut ijazah abal-abal sebagai narkoba. Kelompok perguruan tinggi penjual ijazah demikian sudah memiliki segmen dan penggemar khusus. Seluruh pihak wajib mendukung agar pelanggaran demikian dibuka seterang-terangnya ke ranah publik, tidak perlu dirahasiakan apalagi ditutup-tutupi.
Sejak tahun 2016, nama tim diganti menjadi Tim EKA. Pergantian ini diselaraskan dengan nomenklatur yang digunakan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, terutama pasal 54 ayat (6) yang menyatakan bahwa Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi secara berkala. Pada pasal yang sama ayat (7) dinyatakan bahwa Menteri mengumumkan hasil evaluasi dan penilaian Standar Pendidikan Tinggi kepada mayarakat. Ini jelas merupakan semangat keterbukaan dari UU N0. 12/2012 yang bermuara pada terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Berasarkan masukan yang saya terima, ada kemungkinan masyarakat belum memahami tugas Tim EKA ini secara memadai. Ada lima tugas utama Tim Eka. Pertama, membantu Menteri dalam melakukan evaluasi kinerja akademik perguruan tinggi. Memang tim ini dibentuk oleh Menteri melalui Dirjen Kelembagaan.
Tugas kedua adalah meneliti kepatuhan/ketaatan perguruan tinggi terhadap peraturan perundang-undangan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dengan tugas ini, tim telah memetakan pola penyimpangan dan berusaha keras menemukan akar penyebabnya. Hipotesis awal mengarahkan segala praktik penyimpangan terhadap peraturan perundangan mengerucut pada satu penyebab, yaitu dilanggarnya prinsip nirlaba dalam peyelenggaraan pendidikan tinggi. Jadi, ujung-ujungnya duit juga.
Tugas ketiga adalah meneliti kesesuaian arah dan pelaksanaan penjaminan mutu akademik perguruan tinggi. Sejauh ini sudah cukup banyak masukan dari Tim Eka untuk memperbaiki kinerja BAN PT. Saya menyaksikan institusi ini sangat responsif dan terbuka terhadap masukan konstruktif. Interaksi dan komunikasi tim ini dengan BAN PT semakin baik. Mungkin yang masih menjadi kendala adalah reliabilitas PD Dikti yang pada masa depan harus ditingkatkan. Jika kita telah memiliki PD Dikti yang andal, maka kinerja BAN PT akan lebih efisien dan produktif.
Tugas keempat adalah memanfaatkan hasil penelitian untuk mengedukasi dan melindungi masyarakat serta memberikan kewaspadaan dini kepada perguruan tinggi. Pemaparan hasil penelitian pada forum ilmiah, rapat koordinasi, dan tulisan di berbagai media bertujuan agar masyarakat terlindungi dari praktik tidak baik dan cenderung ilegal. Masih lekat di ingatan curhat semalaman dengan Mas Rusdi (nama samaran) di sebuah wisma di Jakarta pada 18 September 2015. Beliau bersama rombongannya 80 orang berangkat jauh-jauh dari Luwu ke Jakarta untuk kali pertama guna mengikuti wisuda yang di kemudian hari dinyatakan abal-abal. Orang yang begitu lugu itu telah menjadi korban kejahatan yang mengatasnamakan pendidikan. Meski telah menjadi korban, Mas Rusdi masih sempat memberikan oleh-oleh kepada kami, sebungkus kopi asli Luwu. Dengan senyum getir kami menerimanya.
Tugas kelima adalah menyampaikan laporan dan rekomendasi hasil evaluasi kinerja perguruan tinggi kepada Menteri. Untuk bagian ini biasanya tim merapat dengan Biro Hukum dan Organisasi. Banyak liku-liku yang harus dilalui termasuk menyiapkan peraturan menteri tentang sanksi bagi perguruan tinggi yang melakukan pelanggaran. Kini kita telah memiliki Permenristekdikti No. 50 Tahun 2015 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Permen ini menjadi dasar tim membuat rekomendasi kepada Menteri.
Sesuai dengan tugas meneliti dan mengedukasi masyarakat, ekspose hasil temuan oleh Tim EKA kepada publik bukan hal terlarang. Hampir sebagian besar kunjungan Tim EKA ke perguruan tinggi selalu ditutup dengan acara press conference berdasarkan data berita acara evaluasi. Acara ini sering dihadiri oleh perwakilan kopertis, asosiasi perguruan tinggi, dan juga perguruan tinggi.
Data press conference Tim EKA terkait dengan berita acara evaluasi dapat ditelusuri dengan mudah di berbagai media elektronik dan tulisan para pejabat Kemenristekdikti dan anggota tim yang tersebar di media cetak. Publik masih mengingat bagaimana Tim EKA bersama media mengekspose “penggerebekan” wisuda abal-abal di Pondok Cabe pada bulan September 2015. Jika memiliki waktu luang, saya menyarankan pembaca untuk menelusuri ekspose temuan Tim EKA di Tuban, Kediri, Jember, Malang, Bandung, Tangerang, Jakarta, Manado, Medan, Palu, Makassar, dan lain-lain.
Untuk membangun pendidikan tinggi yang lebih baik, peran media tidak bisa dinihilkan. Pada bagian ini saya ingin menyebut dua perguruan tinggi yang berhasil menyehatkan dirinya setelah dikunjungi dan dibina oleh Tim EKA dan dengan bantuan media. Perlu dimaklumi bahwa penyebutan ini tidak ada maksud komersial, murni untuk tujuan edukasi.
Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri merupakan contoh yang paling fenomenal. Pada pertengahan Juni 2015, Tim EKA menemukan sejumlah pelanggaran berat dengan angka fantastis. Butir-butir berita acara evaluasi langsung disampaikan melalui press conference yang dihadiri oleh berbagai awak media cetak dan elektronik, tak lama setelah berita acara ditandatangani oleh kedua pihak.
Berkat kegigihan tim dan bantuan media yang terus menyoroti, terjadilah pergantian manajemen di universitas ini pada bulan Agustus 2015. Ternyata di perguruan tinggi ini banyak mutiara yang dalam waktu singkat bisa menyehatkan diri dari dalam. Dengan cepat dan bermodal kejujuran, manajemen baru mengamputasi 8.000 mahasiswa abal-abal dan 120 dosen fiktif dari PD Dikti.
Dalam tempo dua tahun masa penyehatan, prestasi UNP Kediri melejit pesat. Sebelumnya, pada tahun 2015 univeritas ini berada pada peringkat ke-147 dan pada tahun 2016 berada pada peringkat ke-55. Informasi terbaru, kini universitas ini menduduki rangking 20 besar perguruan tinggi di Kopertis Wilayah 7, Jawa Timur. Sungguh suatu prestasi luar biasa yang membanggakan. Simpulan sementara, kalau tidak “diajari nakal”, perguruan tinggi dapat menjadi baik dalam waktu yang cepat. Setiap kali pulang menengok Ibu di kampung, saya selalu menyempatkan mampir, dan betapa bahagia menyaksikan UNP Kediri yang kelak saya prediksi akan menjadi salah satu perguruan tinggi kebanggaan nasional.
Univeritas PGRI Ronggolawe Tuban merupakan contoh berikutnya. Perguruan tinggi ini juga disambangi oleh Tim Eka pada pertengahan Juni 2015. Tajamnya sorotan media memicu terjadi pergantian manajemen pada bulan 2015. Kasusnya mirip UNP, dan memang universitas ini mengadopsi program penyehatan dari mitranya itu. Pada kunjungan di akhir November tahun lalu, saya mengamati perguruan tinggi ini sudah tampak sehat. Bahagia sekali rasanya seperti menyaksikan anak yang dulu sakit-sakitan sudah mulai berlari kecil menyusuri pematang sawah.
Tim Eka telah menjadi saksi bahwa peran media sungguh sangat besar terhadap pengawasan, pengendalian dan pembinaan perguruan tinggi. Kementerian tidak bisa bekerja sendirian. Umumnya pengungkapan kepada media dilakukan untuk kasus-kasus yang melibatkan perguruan tinggi dalam katagori membandel, resisten dan cenderung “melawan” kementerian. Tugas mengedukasi dan melindungi agar masyarakat terjamin memperoleh pendidikan yang bermutu, muskil terwujud tanpa dukungan dari masyarakat itu sendiri.
—Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik Kemenristekdikti Sumber informasi disini